BAB 1
BAB 1.1.
Sejarah
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok
yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri
sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan.
Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih
diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah "Menteng Ueh
Mamut", yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta
tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
Kata Dayak berasal dari kata "Daya" yang artinya
hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan
Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat. Kata “Dayak” ini juga merupakan nama
kolektif bagi banyak kelompok suku di Pulau Kalimantan atau Borneo. Dalam suku
“Dayak” itu sendiri, terdapat kelompok-kelompok “Suku” yang sangat heterogen
dengan segala perbedaannya, seperti bahasa, corak seni, organisasi social dan
berbagai unsur budaya lainnya (Nieuwenhuis, 1990).Ada pelbagai pendapat tentang asal-usul orang Dayak,
tetapi setakat ini belum ada yang betul-betul memuaskan.Namun, pendapat
yang diterima umum menyatakan bahawa orang Dayak ialah salah satu kelompok asli
terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan (Tjilik Riwut 1993: 231).Gagasan tentang penduduk asli ini
didasarkan pada teori migrasi penduduk
ke Kalimantan.Bertolak dari pendapat itu adalah dipercayai mereka
ini adalah imigran dari daratan Asia, yakni Yunan di Cina Selatan. Kelompok
imigran yang pertama kali masuk adalah kelompok ras Negrid dan Weddid
(Coomans,1987) yang kini tidak ada lagi, serta ras Australoid (Mackinnon,1996).
Selanjutnya adalah kelompok imigran Melayu yang datang sekitar tahun
3000-1500SM. Kelompok imigran terakhir adalah kelompok yang masuk sekitar tahun
500 SM (Coomans,1987),yaitu ras Mongologid (Coomans,1987; sellato,1989;
Rousseau1990).
Semua
suku bangsa Daya termasuk pada kelompok yang bermigrasi secara besar-besaran
dari daratan Asia. Suku bangsa Daya merupakan keturunan daripada imigran yang
berasal dari wilayah yang kini disebut Yunnan di Cina Selatan. Dari tempat
itulah kelompok kecil mengembara melalui Indo China ke jazirah Malaysia yang
menjadi loncatan untuk memasuki pulau-pulau di Indonesia, selain itu, mungkin
ada kelompok yang memilih batu loncatan lain, yakni melalui Hainan, Taiwan dan
Filipina. Perpindahan itu tidak begitu sulit, kerana pada zaman glazial (zaman
es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga dengan perahu-perahu kecil
sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau itu.
Orang-orang
Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati, dahulu mereka ini mendiami
pulau Kalimantan, baikpun pantai-pantai baikpun sebelah ke darat.Akan tetapi taklama orang Melayu dari Sumatera dan
Tanah Semenanjung Melaka datang ke situ terdesaklah orang Dayak itu lalu
mundur, bertambah lama, bertambah jauh ke sebelah darat pulau Kalimantan
Teori
tentang migrasi ini sekaligus boleh menjawab persoalan: mengapa suku bangsa
Dayak kini mempunyai begitu banyak sifat yang berbeda, sama ada dalam bahasa maupun dalam
ciri-ciri budaya mereka
Dewasa
ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yaitu Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban,
Murut, Klemantan dan Punan.Keenam rumpun ini terbagi lagi kurang lebih 405 sub suku. Meskipun
terbagi kepada ratusan sub suku, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan
ciri-ciri budaya yang khas.Ciri-ciri tersebut menjadi faktor
penentu salah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak.Ciri-ciri
tersebut ialah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau,
sumpit beliong (kapak Dayak) pandangan terhadap alam, mata pencarian (sistem
perladangan) dan seni tari.
BAB 1.2.
Adat istiadat
Upacara Tiwah
Upacara
Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang
dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung
yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang
dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara
Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang
orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung),
banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain.
Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Dunia Supranatural
Dunia
Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas
kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut
Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak
adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas
semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya
Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk
seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur
dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah.
Mangkok
merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang
Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. Panglima" atau sering
suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang
berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat
sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima
Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan
supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu
bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok
merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus
membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai
perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh
pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber Tariu" ( memanggil roh
leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang
Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya.
Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
BAB 1.3.
Budaya
Suku Dayak
hidupnya berkelompok,mengenal persatuan yang di lambangkan pada tradisi mangkuk
merah,yang di pimpin seorang pangkalima(Panglima Suku),sangat dekat dengan alam
dan hidup dalam kebersamaan(berkoloni dengan keluarga mereka) ditandai dengan
rumah adatnya yang sangat panjang bernama betang didalamnya bisa ditinggali
oleh beberapa keluarga,panjang rumah betang sendiri tergantung berapa banyak
keluarga yang tinggal di dalamnya.
Perkampungan
suku dayak tersebar pada daerah hulu sungai, dimana sungai merupakan jalur
transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan berbagai kegiatan
sehari-hari seperti bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh
dari pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan hasil kebun.
Budaya
Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari
orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah
tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang
dituangkan dalam hukum adat.
Beberapa
unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari
besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Mereka hidup bersama
dan berkelompok dalam satu rumah secara turun menurun, setiap rumah tangga
(keluarga) menempati satu bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang
yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki
rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas
perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan
tempat pemukiman penduduk lalu belum lagi pulau Kalimantan yang banyak di lalui
sungai-sungai yang apabila hujan datang akan meluap dan menimbulkan masalah
besar,namun orang dayak mengatasi masalah tersebut dengan membangun rumah
betang yang tinggi dari permukaaan tanah
Rumah Betang tidak akan berdiri jika
suku Dayak tidak mampu menyimpulkan apa yang diajarkan alam kepada mereka
tentang bagaimana selamat dari bahaya yang mengancam di alam seperti binatang
buas dan lain-lain, hasil dari rasa dan karsa tersebut kemudian diolah menjadi
sebuah pengetahuan yang rasional tentang hidup berdampingan dengan alam.
Pengetahuan tentang bagaimana memperlakukan alam, bagaimana hidup berdampingan
dengan alam, apa yang akan terjadi jika alam dirusak terus diajarkan kepada
generasi penerus mereka. Memahami bahwa sebuah materi di dunia ini pasti akan
berkembang kearah yang lebih baik dari sebelumnya, maka ada faktor-faktor yang
mempengaruhi mengapa suku Dayak tidak berkembang kearah yang lebih maju hingga
sekarang terutama Suku dayak yang sampai sekarang masih berada di pedalaman.
Suku Dayak sejak lahirnya merupakan
suku yang paling menghargai apa yang terdapat di sekelilingnya tidak hanya
hubungan dengan alam namun antar sesama manusia. Hidup berdampingan dengan alam
membuat merekalah yang paling mengerti bagaimana manjaga hutan saat iniSeperti
halnya suku dayak yang masih banyak hidup berdampingan dengan alam. Mereka
memperlakukan alam dengan sangat bijak.
Prinsip hidup
suku Dayak tercermin dari bentuk dan model rumah adat suku Dayak
ini. Hidup yang berdasarkan kebersamaan dan toleransi membentuk keutuhan
dari rumah betang.
Selain
rumah betang adapula nama-nama rumah adat suku Dayak di kelompokkan menurut
daerahnya seperti:
1.
Rumah Betang (kalimantan Tengah).
Budaya Betang
merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang
Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga
dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang
dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau
berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang.
Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai
kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari
perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku
Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai
perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.Walaupun arsitektur rumah ini mengedepankan rasa kekeluargaan, sifat aristokrat juga
sangat terasa. Mereka yang punya posisi penting di Suku Dayak menempati ruangan
di tengah-tengah rumah. Mereka yang posisinya lebih rendah akan menempati
ruangan yang lebih dekat dengan pintu masuk
Rumah panjang terdiri lebih dari 50
ruangan dengan banyak dapur. Rumah panjang dihuni oleh beberapa keluarga,
termasuk keluarga inti. Bahkan rumah panjang di dataran tinggi sungai Kapuas
Putussibau memiliki 54 bilik yang dihuni oleh beberapa keluarga.
Rumah panjang biasanya dibangun di atas tiang setinggi 5 sampai 8 meter seperti panggung dan ada yang panjangnya sampai 186 meter serta lebar 6 meter. Untuk masuk ke dalamnya pun harus melewati anak tangga atau yang dikenal dengan nama tangka. selain itu tangga rumah panjang dahulu ada juga yang dibuat dari kayu ulin/belian yang dibuat sedemikian rupa yang dikenal dengan tipakan. Biasanya Tiang rumah yang berada di bagian kolong terkadang diukir dengan bentuk motif sebagai hiasan dan filosofi dayak yang dekat dengan Alam
Rumah panjang biasanya dibangun di atas tiang setinggi 5 sampai 8 meter seperti panggung dan ada yang panjangnya sampai 186 meter serta lebar 6 meter. Untuk masuk ke dalamnya pun harus melewati anak tangga atau yang dikenal dengan nama tangka. selain itu tangga rumah panjang dahulu ada juga yang dibuat dari kayu ulin/belian yang dibuat sedemikian rupa yang dikenal dengan tipakan. Biasanya Tiang rumah yang berada di bagian kolong terkadang diukir dengan bentuk motif sebagai hiasan dan filosofi dayak yang dekat dengan Alam
3. Rumah Lamin (kalimantan Timur)
Rumah Lamin merupakan rumah adat dayak, khusunya yang berada di Klaimantan timur. Kata ’Rumah Lamin’ memililki arti rumah panjang kita semua, di mana rumah ini digunakan untuk beberapa keluarga yang tergabung dalam satu keluarga besar. Ciri dari rumah ini berbentuk panggung degan ketinggian kolong sampai 3 meter. Denahnya berbentuk segi empat memanjang dengan atap pelana. Bagian gevel diberi teritis dengan kemiringan curam. Tiang-tiang rumah terdiri dari dua bagian, bagian pertama menyangga rumah dari bawah sampai atap, bagian kedua merupakan tiang kecil yang mendukung balok-balok lantai panggung. Baik tiang utama maupun pendukung yang berada di bagian kolong terkadang diukir dengan bentuk patung-patung untuk mengusir gangguan roh jahat.
Ukuran rumah lamin dapat memiliki
lebar 25 meter, sedang panjangnya sampai 200 meter. Karena panjangnya dapat
terdapat beberapa pintu masuk yang dihubungkan oleh beberapa tangga pula. Pintu
masuk rumah berada pada sisi yang memanjang.Ruang dalam rumah lamin terbagi
menjadi dua bagian memanjang di sisi depan dan belakang. Sisi depan merupakan
ruangan terbuka untuk menerima tamu, upacara adat dan tempat berkumpul
keluarga. Bagian belakangnya terbagi menjadi kamar-kamar luas.
Rumah lamin dihias dengan
ornamentasi dan dekorasi yang memilik makna filosofis khas adat dayak.
Ornamentasi yang khusus dari rumah lamin milik bangsawan adalah hiasan atap
yang memiliki dimensi sampai 4 meter dan terletak di bubungan. Warna-wara yang
digunakan untuk rumah lamin juga memiliki makna tersendiri, warna kuning
melambangkan kewibawaan, warna merah melambangkan keberanian, warna biru
melambangkan loyalitas dan warna putih melambangkan kebersihan jiwa. Pada
halaman depan juga terdapat tonggak-tonggak kayu yang diukir berbentuk patung.
Tiang patung kayu yang terbesar dan tertinggi berada di tengah-tengah, bernama
’sambang lawing’ yang dipergunakan untuk mengikat binatang korban yang
digunakan dalam upacara adat.
4. Rumah Banjar (kalimantan Selatan)
4. Rumah Banjar (kalimantan Selatan)
Rumah Banjar, biasa disebut juga
dengan Rumah Bubungan Tinggi karena bentuk pada bagian atapnya yang begitu
lancip dengan sudut 45º. Bangunan Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada
sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera
yang kemudian memeluk agama Islam, dan mengubah namanya menjadi Sultan
Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang. Sebelum memeluk agama Islam,
Sultan Suriansyah tersebut menganut agama Hindu. Ia memimpin Kerajaan Banjar
pada tahun 1596 – 1620.
Pada mulanya bangunan rumah adat
Banjar ini mempunyai konstruksi berbentuk segi empat yang memanjang ke depan.
Namun perkembangannya kemudian bentuk segi empat panjang tersebut mendapat
tambahan di samping kiri dan kanan bangunan dan agak ke belakang ditambah
dengan sebuah ruangan yang berukuran sama panjang. Penambahan ini dalam bahasa
Banjar disebut disumbi. Bangunan tambahan di samping kiri dan kanan ini tampak
menempel (dalam bahasa Banjar: Pisang Sasikat) dan menganjung keluar. Bangunan
tambahan di kiri dan kanan tersebut disebut juga anjung; sehingga kemudian
bangunan rumah adat Banjar lebih populer dengan nama Rumah Ba-anjung.
Itulah
ragam-ragam rumah adatnya bahkan dalam satu daerahpun memiliki
varisasi-variasi, namun pada dasarnya konsepnya sama,yang membedakan hanya
model dan tempatnya saja karena itu semua merupakan jenis Rumah Panjang dengan
konsep tata ruang yang sama.
Bagian-Bagian Rumah Adat Suku Dayak:
-Bagian depan
Pada bagian
depan rumah Dayak terdapat sebuah anak
tangga sebagai pintu masuk ke dalam rumah. Rumah yang berbentuk panggung
dengan ketinggian sekitar tiga sampai lima meter dari permukaan tanah ini
sengaja dibangun untuk menghindari banjir dan serangan binatang buas.
Di ujung anak
tangga, kita akan menjumpai sebuah bale atau balai yang tidak terlalu luas,
fungsinya sebagai tempat untuk menerima tamu maupun untuk mengadakan pertemuan
dengan kerabat maupun keluarga yang lain.
Masuk ke dalam
bangunan kita akan melihat banyak ruangan yang disekat menjadi beberapa
ruangan. Nah, setiap ruangan atau bilik ini ditempati oleh satu
keluarga. jadi, semisal dalam satu rumah betang ada 50 keluarga, berarti
jumlah bilik juga ada 50. Itulah kenapa rumah Betang ini bentuknya sangat
panjang.
-Bagian belakang
Di bagian
belakang rumah adat suku Dayak terdapat sebuah ruangan yang berfungsi sebagai
tempat penyimpanan hasil dan alat-alat pertanian. Selain itu, rumah adat
suku Dayak juga memiliki kandang hewah ternak yang menyatu di rumah, karena
hewan peliharaan termasuk dalam harta kekayaan keluarga seperti babi, sapi dan
anjing.
Budaya kolektif
yang dimiliki oleh suku Dayak merupakan budaya yang maju dan memiliki arti
historis. Dengan budaya koloktif yang dimilikinya suku Dayak mampu menaklukkan
alam yang ganas secara bersama-sama
Pada dasarnya,
rumah adat Kalimantan itu sama, Hanya saja yang membuatnya berbeda adalah model
bentuk bangunannya dan namanya. Kehidupan sosial masyarakat yang memegang teguh
adat istiadat, tradisi, budaya dan kehidupan bersama (gotong royong) tumbuh dan
berkembang dirumah adat. berdasarkan beberapa daerah rumah adat disebut dengan
sebutan yang berbeda, berikut ini sebutan lain rumah adat dayak.
-Bagian bawah
Biasanya digunakan untuk memelihara
binatang-binatang ternak
Bentuk Ruang:
Ruang
di dalam Rumah Dayak selalu berada pada satu dinding yang melingkupi ruang
secara keseluruhan sehingga dapat juga
sebagai ruang tertutup dimana terdapat ruang los(tempat berkumpul) yang
merupakan ruangan yang paling luas.
Tata Letak dan
Perletakkan Ruang:
-Ruang Los : Harus
berada di tegah-tengah bangunan karena merupakan poros bangunan,dan tempat
berkumpul melakukan kegiatan,baik adat maupun keagamaan,serta sosial
masyarakat.
-Ruang Tidur : Harus
disusun berjajar sepanjang bangunan Bentang, dimana paling ujung dekat dengan
aliran sungai merupakan tempat tidur orang tua dan anak bungsu harus paling
ujung dekat hilir sungai.Jika itu dilanggar,seisi rumah akan mendapat petaka.
-Ruang Dapur :Boleh
berada di kanan maupun di kiri bangunan,yang terpenting menghadap aliran
sungai,agar penghuni selalu mendapatkan rezeki.
-Karayan : Memiliki
beberapa fungsi seperti,Tempat memelihara hewan,sebagai tempat hasil
buruan,sebagai tempat istirahat sehabis berburu,tempat meletakkan alat-alat pertanian
Sumber :
-Asteria:Alumni Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra – Surabaya:(Studi Kasus Rumah Tradisional Palangkaraya di Kalimantan Tengah)
No comments:
Post a Comment